TANGGUNG JAWAB ILAHI DAN INSANI DALAM PERKAWINAN

Setiap perbuatan seorang Muslim, termasuk perkawinan selalu mengandung aspek ibadah jika dilakukan atas dasar keyakinan bahwa Allah mengizinkan, dan aspek muamalah karena bersinggungan dengan hak orang lain, baik sebagai warga masyarakat, maupun sebagai warga negara.

Seperti telah disebut di atas, Allah menyebut perkawinan sebagai janji kuat (mitsaqon gholizhon). Kata ini hanya digunakan tiga kali dalam al-Qur'an, yaitu janji antara Allah dan para Rasul-Nya (QS. Al-Ahzab 33;7), janji Allah antara Rasul Musa AS dengan ummatnya (QS. An-Nisa 4;154) dan janji perkawinan (QS. An-Nisa 21). Fakta ini megisyaratkan bahwa di hadapan Allah, janji suami dan istri dalam perkawinan adalah sekuat perjanjian antara Rosul Musa AS dengan kaumnya, bahkan sekuat janji yang diambil Allah SWT dan para Rosul.

Baca juga : KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Ini berarti perkawinan harus sah secara hukum agama dan dijalankan sesuai tuntunan Allah. Suami dan istri harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya dalam perkawinan baik yang diketahui oleh orang lain maupun tidak kelak di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab). Dalam QS. Yasin 36;65 Allah berfirman :
اليوم نختم على افواههم وتكلمنا ايديهم وتشهد ارجلهم بما كانوا يكسبون
Artinya : Pada hari ini Kami kunci mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan.

Pengabdian atas tanggungjawab ilahi perkawinan membuat suami istri hanya akan menjalankan perkawinan dengan baik hanya jika pasangannya atau orang lain mengetahuinya. Sementara jika tidak ada yang mengetahui, mereka berani melakukan pengkhianatan tanpa rasa takut. Sebaliknya, kesadaran akan adanya tanggungjawab kepada Allah ini menyebabkan suami istri sama-sama menjaga diri, baik ketika pasangannya ada maupun ketika tidak ada, karena meyakini bahwa Allah selalu menjaga (melihat) mereka. Sikap saling setia antara suami dan istri bukan semata-mata karena pasangannya menghendaki kesetiaan, tetapi terutama karena Allah menghendaki demikian.

Baca juga : KRITERIA RUMAH TANGGA BAHAGIA

Dengan memahami landasan tanggungjawab ilahiyah ini, pasangan suami istri diharapkan dapat menghidari perceraian. Dalam sebuah hadist, Rosulullah SAW bersabda : "Hal halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian".  (HR. Abu Daud dan Hakim). Hadist ini merupakan peringatan keras agar perkawinan dijaga kekuatan dan kebaikannya. Kritik ini tidak hanya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan yang menikah, tetapi juga kepada seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan perkawinan baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat negara terkait.

Karena keluarga hidup dalam suatu negara, maka perkawinan juga harus sah secara hukum sebagaimana ditetapkan oleh negara. Ini sangat perlu karena keabsahan perkawinan dalam hukum positif negara akan berkaitan dengan hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga di hampir semua aspek kehidupan.


Terima kasih
Semoga bermanfaat.... Aminnnn....!!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UU NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Contoh SK Panitia Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2020

SK DIRJEN BIMAS NO 473 TAHUN 2020 TENTANG JUKNIS PENCATATAN PERNIKAHAN