UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Pengetahuan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.
Baca Juga : UU NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Baca Juga : UU NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa
Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan agama.
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya
ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga
mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Baca juga : PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NO 13 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Baca juga : PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NO 13 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki
prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
-
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
-
Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
-
Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
-
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
-
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
-
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan di
Jakarta oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan oleh
Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono. SH pada tanggal 2 Januari 1974 di
Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diudnangkan dan
ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019.
Baca juga : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM NO 91 TAHUN 2020 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AL-QUR'AN
Baca juga : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM NO 91 TAHUN 2020 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AL-QUR'AN
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan
Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan
Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.
Baca juga : Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi Pada Kementerian Agama
Baca juga : Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi Pada Kementerian Agama
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi." Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Oleh karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
Hal-hal yang dapat dijadikan untuk melakukan perceraian dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, yaitu:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan tersebut adalah mengubah Pasal 7 dan menyisipkan 1 Pasal
diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu Pasal 65A, seperti berikut ini:
- Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
- Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
- Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
- Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
- Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
- Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 65A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Download di sini : UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar
Komentar